Sabtu, 12 Februari 2011

Kualitas Film Pelajar Banyumas

Oleh Teguh Trianton

Film-film karya sineas Banyumas selama ini telah mendapat banyak apresiasi di berbagai ajang festival film baik di tingkat regional, nasional bahkan di kancah internasional. Pada tahun 2007 Film berjudul ‘Senyum Lasminah’ (SL) karya sineas Purblingga terpilih sebagai film terbaik II-Festival Video Edukasi (FVE) 2007. ‘Pasukan Kucing Garong’ (PKG) -fiksi terbaik pada Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007. ‘Adu Jago’ (AJ) -dokumenter terbaik pada ajang yang sama. Demikian juga dengan Film ‘Boncengan’, dan ‘Lengger Santi’.

Pada kancah internasional, film ‘Peronika’ dan ‘Metu Getih’ mendapat kehormatan tampil di Festival Film Eropa bertajuk “Europe on Screen 2007” (EOS 2007). Tahun 2008, sebuah dokumenter kehidupan orang cacat berjudul ‘Cuthel’ meraih penghargaan dari depdiknas sebagai film dokumenter terbaik FVE 2008. Tahun 2009 beberapa film Banyumas juga tayang di salah satu kompetesi film pendek yang digelar sebuah satasiun televise swasta (TV One).

Namun di tahun 2010 ini, perkembangan film Banyumas yang lebih banyak dimotori oleh sineas pelajar ini cukup mengkhawatirkan. Film-film Banyumas karya pelajar terkini menunjukan penuruan kualitas yang signifikan.

Salah satu parameternya adalah film-film yang lolos seleksi nominasi dalam ajang Festival Film Purbalingga (FFP) 2010 yang berlangsung akhir bulan Mei lalu. Jika dibanding film-film peserta FFP tahun sebelumnya (2009) terlihat jelas adanya penurunan kualitas.

FFP 2010Perhelatan Festival Film Purbalingga (FFP) 2010 akhir bulan Mei kemarin telah mengantar film fiksi berjudul ‘Endhog’ (Telor) sutradara Padmashita Kalpika sebagai film terbaik. Melalui seleksi yang ketat, tiga juri FFP terpaksa memilih film produksi sineas SMA N 2 Purbalingga ini sebagai yang terbaik.

Juri terpaksa memilih, sebab secara umum kualitas film pelajar Banyumas tahun ini cenderung menurun, dibanding film peserta FFP tahun sebelumnya.

Penurunan juga terjadi pada sisi kuantitas. Tahun 2009 terdapat 10 judul film kategori fiksi yang jadi nominator, tahun ini hanya 8 judul film yang lolos seleksi dewan programer.

Hantu, Sinetronis KronisSebenarnya tema yang ditawarkan pada FFP 2010 sangat sederhana, ‘Meliat Kita’. Artinya, peserta FFP –pelajar di eks karesidenan Banyumas- diberi keleluasaan untuk eksplorasi kearifan budaya lokal dan realitas sosial yang terjadi pada masyarakat Banyumas.

Namun tema yang sederhana ini malah hampir tak terbaca sama sekali. Sebagian besar film fiksi yang lolos seleksi ternyata gagal memvisualisasikan pesan moral dalam bingkai narasi peristiwa kecil yang ada di masyarakat.

Hasil akhir proses kreatif sineas muda Banyumas menunjukan gejala akut sindrom sinetronis kronis. Beberapa film yang sesungguhnya berupaya ‘melihat kita’ dengan mengangkat kearifan lokal menjadi tak berdaya oleh virus sinetronis kronis.

Film berjudul ‘Bunyi’ misalnya. Karya sineas pelajar SMK Bakti Purwokerto ini mulanya hendak mengangkat khazanah budaya masyarakat tani yang nyaris punah. Tokoh Radit dalam film ini menjadi ujung tombak penyampaian pesan. Ia berupaya mempertentangkan modernitas dengan tradisionalitas budaya.

Melalui hobi fotografi yang diperankan, Radit mengajak penonton untuk mengingat tradisi lesungan. Yaitu sebuah permainan klotekan atau tlektekan dengan cara memukulkan ujung antan ke tepi bagian dalam lesung sambil menumbuk padi. Harmonisasi ritme ketukan antan yang dimainkan kaum perempuan ini menghasilkan orkestra bunyi (musik) yang indah, sebagai hiburan.

Namun bunyi pesan moral ini justru tenggelam oleh sebagian besar scene sinetronis yang klise pada keseluruhan film. Kisah asmara Radit yang sinetronis mengalahkan bunyi pesan yang dimaksudkan.

Sindrom sinetronis mewabah pada sebagaian besar film lain. Ini terlihat pada film berjudul ‘Lupa’ (SMK N 1 Purwokerto), ‘Sepatu Lawan Jago’ (SLJ) dan ‘Montor apa Bebek’ (MaB) dari SMA N 1 Cilacap, ‘Menuju Titik Terang’ (MTM) dari SMA N 1 Purbalingga, dan ‘Aku Bukan Malin Kundang’ (ABMK) dari SMK N 1 Purbalingga.

Selain wabah sinetronis, film pelajar Banyumas juga mengidap sindrom hantu ala film horor Indonesia. Film ‘Lupa’ misalnya, dengan vulgar mengkliping puluhan hantu dari scene film horor yang beredar di bioskop dan dipadatkan jadi satu pendek.

Film ini bercerita tentang dua pelajar yang –lupa- berangkat ke sekolah padahal hari libur. Namun puluhan hantu yang dikompilasi telah membuat scene ini klise, bahkan mendekati kesan copy-paste.

Sementara itu, film SLJ dan MaB sebenarnya hendak menyampaikan pesan tentang kehidupan pelajar dari keluarga miskin dalam pergaulan sosial yang lebih kaya. Namun pesan ini juga klise lantaran padatnya tuturan dan logika film yang sinetronis.

Pada ‘MTM’, materi yang diangkat juga tertelan scene sinetronis. Metafora visual yang dibangun terlalu hiperbolis, sehingga logika narasi sulit diterima. MTM hendak bercerita tentang anak yang hobi membaca dan menulis sastra tapi ditentang oleh orang tua. Film ini juga bercerita tentang orang tua yang kerap membanding-bandingkan dan mengatur masa depan anak-anaknya.

Film ‘ABMK’ sangat sederhana, bercerita tentang pelajar yang aktif ekstrakurikuler teater. Kehidupan pelajar ini terpengaruh karakter tokoh yang diperankan dalam pertunjukan teater. Sayangnya eksekusi cerita ABMK juga terkena virus sinetron.

Komedi SatireDua film lain yang cukup diunggulkan adalah film ‘Endhog’ (SMA N 2 Purbalingga) dan ‘Ling-Lung’ (SMA N Bobotsari). Endhog diunggulkan karena pesan moral yang hendak disampaikan. Ide film ini sederhana, bercerita tentang semangat siswa Kejar Paket A dalam kegiatan eksperimen.

Dengan keluguan dan kebodohannya, dua siswa sekolah penyetaraan ini berusaha membuktikan bahwa binatang mamalia yang memiliki daun telinga berkembang biak dengan beranak, dan yang tidak berdaun telinga bertelor.

Keluguan siswa Kejar Paket A dalam Endhog mengantar film ini menjadi komedi satire. Kesederhanaan cerita dan ide menunjukan kecerdesan pembacaan tema festival. Namun ada scene yang hilang sehingga memutus narasi.

Setali tiga uang, ‘Ling-lung’ juga menawarkan sebuah komedi. Diceritakan seorang pelajar yang sangat pelupa atau ling-lung, berjibaku melawan penyakit ling-lungnya. Ia berkali-kali terjebak pada adegan komedial sebagai akibat keling-lungannya.

Secara teknis, film ini sangat unggul. Tuturan visual yang disuguhkan sangat memadai sebagai sebuh film. Film ini juga berupaya menterjemahkan tema festival, dengan mengangkat satu narasi kecil tentang pelajar yang pelupa. Namun ending film ini mudah ditebak, dan pesan yang disampaikan tertalu umum.

PendidikanSecara umum, menurunnya kualitas film pelajar ini erat kaitanya dengan sistem pendidikan di sekolah. Selama ini praktek pendidikan masih mengedepankan hafalan dari pada penggalian ide dan logika kreatif siswa. Pendidikan juga kurang menghargai kecerdasan emosi dan potensi otak kanan.

Sistem pendidikan telah mendisain pola pikir guru di sekolah, dan orang tua siswa untuk mengagungkan fungsi otak kiri. Jarang dijumpai ada guru dan orang tua yang bangga jika anaknya pandai atau memenangkan lomba seni. Mereka lebih bangga jika anaknya mendapat nilai sempurna pada pelajaran matematika atau sains.

Sejak lahir, setiap anak memiliki kecendrungan yang berbeda dalam memaksimalkan potensi otak. Kurangnya keseimbangan penghargaan pada fungsi otak kanan, berpotensi mematikan lahirnya ide-ide baru. Akibatnya pelajar kehilangan kreativitas, suka mencontek, dan pandai menghapal saja.

Teguh Trianton, Periset Beranda Budaya (Banyumas), Juri Festival Film Purbalingga

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms